Review 1917: Sajian Kengerian Perang Dunia I Tanpa Putus

-

Jika ada review 1917 yang menyebut film tersebut adalah film bagus, maka review tersebut tidak terlalu adil. Karena, kualitas film ini bisa dibilang hampir sempurna. Bukan sekadar bagus

Mengisahkan tentang dua serdadu muda Inggris di Perang Dunia I, mereka harus berjalan menembus pertahanan lawan untuk mengabari divisi lain bahwa serangan mereka di pagi hari esok adalah sebuah jebakan musuh.

Kisah sederhana tersebut disajikan dengan sangat apik lewat sinematografi-nya yang mengajak kita seakan ikut melakukan perjalanan.

Sam Mendes, sang sutradara, memutuskan untuk menyajikan film seakan diambil dalam satu take panjang tanpa putus atau one shot take. Dan itu dieksekusi dengan baik oleh sinematografer dan editor legendaris, Roger Deakins dan Lee Smith.

Teknik tersebut bukanlah sebuah hal yang baru dalam dunia perfilman. Beberapa film lain menggunakan teknik yang serupa.

Salah satu yang terkenal salah satunya adalah Birdman (2014) yang memenangkan Best Picture Piala Oscar 2015.

Sinematografi dan editing Birdman memang mengesankan, hanya saja, Birdman menggambarkan suasana panggung Broadway yang memang terkenal menyajikan pertunjukkan tanpa putus.

1917 berbeda. Ada banyak elemen yang lebih rumit untuk mengambil banyak shot dan menyajikannya dalam bentuk satu shot panjang.

Di sini lah set production dari 1917 juga harus diberikan pujian. Kita bisa ikut merasakan suasana peran dengan nyata.

Kita bisa merasakan kengerian, ketakutan, kecemasan langsung dari para karakter di dalamnya. Karena kita tidak diberikan jeda, merasakan semua emosi dan suasana. Tanpa potongan, disuguhkan keindahan dan kengerian di dalamnya.

1917 merupakan film perang yang hampir sempurna di segala aspek. superb directing, stunning cinematography, flawless editing, gorgeous set production, beautiful sound effects.

Lewat review 1917 ini saya hanya ingin berkata: Beruntunglah semua orang yang menyaksikan 1917 di layar lebar. Sebuah sajian epik dengan sinematografi indah memang seharusnya disaksikan di bioskop. Bukan di layar kecil TV.

Ryan Achadiat
Ryan Achadiat
Ryan sempat jadi editor dan penulis majalah film bulanan dan wartawan. Sebelum banting setir jadi SEO & Content Manager perusahaan startup.

Artikel Lainnya

Terpopuler

Lainnya dari Penulis