Review Mulan: Lagi-lagi Sajian Orientalisme dari Disney

-

Review Mulan | Sutradara: Niki Caro Penulis: Rick Jaffa, Amanda Silver, Lauren Hynek, Elizabeth Martin Pemain: Yifei Liu, Donnie Yen, Tzi Ma, Jason Scott Lee Negara: Amerika Serikat Durasi: 115 menit

***

Sinopsis Mulan live-action

Yifei Liu berperan sebagai karakter utama Mulan, yang menggantikan ayahnya untuk bergabung dengan tentara kekaisaran Cina dengan menyamar sebagai laki-laki. Di sana ia mencoba untuk membuktikan bahwa ia adalah pejuang sejati, tapi terpaksa untuk tetap menutup rahasia karena adanya tradisi tentang politik gender di sana.

Kurang lebih, kisahnya hampir sama dengan kisah Mulan versi animasi yang dirilis tahun 1998 lalu. Dengan karakter side kick-nya (Cri-Kee, Mushu, dan Khan), sajian musikal, dan juga lagu-lagu legendaris yang lahir, versi animasi ini langsung menjadi salah satu ikon Disney.

Film ini mendapatkan banyak pujian dari para kritikus (yang kebanyakan adalah orang barat). Karena berhasil mengangkat kisah perempuan yang berani menghadapi norma yang tidak adil. Mendobrak dogma dan tradisi.

Benar. Patut dipuji. Tapi, ada hal lain yang sebenarnya mengganggu; tentang gambaran Asia, khususnya Cina, dalam film barat. Disney sudah sering melakukan hal ini; dan kini mereka melakukannya lagi.

Review Mulan: Representasi, Orientalisme, dan memang alur ceritanya yang buruk

Mulan (2020) memang merupakan sebuah film yang bisa dibilang memiliki standar kualitas tingkat tinggi dari segi teknis. Sinematografi apik, CGI rapi, set produksi megah, mixing suara yang apik, dan editing yang nyaman untuk ditonton.

Tidak ada yang menyebut segi teknis itu semua jelek. Well, kalau jelek ya keterlaluan. Karena dengan budget produksi $200 juta (budget produksi film terbesar untuk sutradara perempuan, btw), memang itu yang diharapkan para penonton.

Disney juga mendapatkan pujian akan representasi Asia dalam film Mulan. Tidak seperti film animasinya yang diisi lebih banyak jajaran pengisi suara yang bukan dari Asia, kini jajaran pemain Mulan live-action diisi oleh mereka yang memang keturunan Asia.

Tapi representasi itu semua terjadi di depan layar. Sementara di belakang layar tidak.

Sang sutradara adalah perempuan asal Selandia Baru. Sementara jajaran penulisnya adalah empat orang kulit putih, tanpa ada keturunan Asia sama sekali.

Pada saat jajaran ini diumumkan, tidak banyak orang yang memprotes tentang representasi. Hal ini karena memang dari kelima orang yang disebutkan di atas menceklis salah satu kotak representasi: perempuan.

Mulan yang memiliki karakter utama perempuan memang lebih cocok untuk ditulis kisahnya dan disutradarai filmnya oleh perempuan pula. Namun, kenyataan ini membuat sebuah lubang kesalahan baru.

Kisah yang diangkat adalah kisah legendaris tentang Mulan yang berasal dari Asia. Sementara mereka semua adalah orang kulit putih.

Hal ini terlihat jelas dari filmnya. Kurangnya representasi Asia di jajaran belakang layar membuat jalan cerita dan juga budaya yang digambarkan banyak yang salah total.

Kisah, budaya, legenda, yang ada dalam Mulan live-action merupakan sebuah gambaran para orang barat akan Asia, khususnya Cina. Ini merupakan sebuah bentuk orientalisme; masalah klasik yang memang selalu ada dalam Disney. Aladdin (versi animasi dan live-actionnya) juga seperti itu.

Hal ini seakan sudah mengakar di dalam narasi-narasi yang dituliskan oleh Disney.

Tidak berhenti di sana, jalan cerita dari Mulan live-action ini juga memiliki banyak plot hole dan karakternya tidak banyak yang dikembangkan secara baik.

Mereka seakan membuat kisah yang tidak perlu dijelaskan. Karena kebanyakan penonton sudah tahu jalan ceritanya dari Mulan versi animasi. Suatu hal yang menurut saya arogan dan menjadikan film ini tidak bisa berdiri sendiri.

Dan tentunya, film yang tidak bisa berdiri sendiri, adalah film buruk yang tidak lengkap.

***

Ikuti terus menonton.id di media sosial Twitter, Instagram, dan Facebook untuk mendapatkan review film terbaru seperti Mulan dan yang lainnya.

Ryan Achadiat
Ryan Achadiat
Ryan sempat jadi editor dan penulis majalah film bulanan dan wartawan. Sebelum banting setir jadi SEO & Content Manager perusahaan startup.

Artikel Lainnya

Terpopuler

Lainnya dari Penulis